Efek Rumah Ada Kacanya

Assalamualaikum,

Waduh udah lama banget tidak nulis yang aneh-aneh di blog (hha..) kenapa ya, AskBNI (lho ga nyambung). Kalau bukan karena ada kompetisi gini males banget nulis begini, apalagi hadiahnya lumayan. Tetapi yang jadi aneh ketika aku coba cari-cari yang ikut kompetisi ini malah beberapa ada yang mempromosikan #AskBNI, sebenarnya tidak apa sih tapi aneh aja untukku, soalnya dikententuannya tidak ada (ngapain juga promosi kalau ga dibayar, piss... Y). 

Sebelum aku cerita tentang pengalamanku (ketentuannya suruh tulis pengalaman soalnya), aku juga ingin promosikan nih tapi bukan promo #AskBNI. Promonya itu ya ikut kompetisi ini aja masih ada tujuh hari hadiahnya lumayan (malah cari pesaing hha..), buka aja ini link. Aku tidak masalah kalah atau menang, tidak bayar juga kompetisi ini alias gratis. Okey selanjutnya baca ini ceritaku ya...

Choerin with His Brother

Ini adalah kisah nyata yang sudah direkayasa sedemikian rupa sehingga seakan-akan fiktif namun sebenarnya fakta. Kisah ini menceritakan mengenai pengalamanku yang telah lama terjadi namun masih pada abad 20. Saat itu aku masih belia yaitu seumur anak SD. Bermula dari obrolan tidak penting anak-anak umur 9 tahunan di dalam kelas. Temanku yang kami panggil Ozy bercerita, sebelumnya saya ingin ceritakan dulu siapa Ozy secara singkat. Ozy itu teman satu kelasku, tinggi badannya yang paling tinggi di kelas, sama guruku saja masih tinggi dia. Rumah Ozy beda kecamatan denganku namun sebenarnya hanya dibatasi oleh kali pelus saja, jaraknya mungkin sekitar 1 Km saja dengan rumahku. Melanjutkan cerita, alkisah si Ozy ini cerita mengenai pengalaman bersama teman-teman di rumahnya mengenai petualangan bersepeda. Dia menceritakan mengenai jembatan gantung yang dia temui di Kelurahan Pliken. Aku yang pernah melihat jembatan gantung di Mersi langsung ambil bicara,
“Oh jembatan gantung yang di Mersi itu?”
“Bukan rin, kalau itu sih aku tahu”
Kemudian dari rasa penasaran itulah bermula dalam benakku, aku harus tahu itu jembatan letaknya di mana. Pada waktu itu, jembatan gantung adalah area yang memang sangat aku kagumi, pasalnya jembatan gantung yang pernah aku temui di Mersi melewati kali Pelus dan lebarnya itu lumayan. Selain itu jembatan gantung adalah suatu yang menakutkan bagi orang tuaku, pernah aku dimarahin karena cerita bahwa aku pernah ke situ dengan adikku. Aku suka sekali jembatan gantung, “bentuknya yang sederhana hanya dengan lantai kayu dan tali baja bisa membentang lebar kali entah bagaimana pendahulu membuatnya” pikirku saat itu.

Berawal dari itulah pada saat libur sekolah aku rencanakan ekspedisi pencarian jembatan gantung Pliken. Bermodalkan tiga sepeda dan empat orang kami berangkat melakukan pencarian setelah sholat subuh. Bersepeda adalah hobiku dari kecil, hampir setiap minggu aku mengajak teman-teman rumahku untuk bersepeda keliling desa. Maka dari itulah aku mengajak temanku untuk melakukan ekspedisi ini. Hanya sebatas pengetahuan dari empat orang ini dan ilmu kira-kira tanpa terlebih dahulu bertanya kepada orang tua ataupun tetangga kami nekat untuk melakukan pencarian. Kami tidak tahu Pliken itu di mana hanya mengira bahwa Pliken itu ada setelah daerah Ledug. Ledug adalah area terjauh yang pernah kami lalui dengan sepeda setiap minggu, maka dari itu ekspedisi ini akan di luar area bersepeda sebelumnya.

“Mas, hari ini sepedaan ke mana?
“Aku ingin cari tentang jembatan gantung Pliken”
“Jembatan gantung yang di Mersi”
“Bukan katane temanku ada lagi di daerah Pliken”

Pada waktu itu yang mau pergi bersamaku hanya empat orang biasanya lebih dari itu sekitar tujuh sampai sembilan. Kemudian perjalanan itu kami mulai dengan menyusuri jalanan yang masih gelap gulita karena lampu jalanan sudah dimatikan pada saat orang-orang pulang dari mushola, waktu itu matahari belum muncul sinarnya. Kami pun bersepeda sampai daerah Ledug, ada persimpangan saat itu, ketika lurus maka ke tempat pembuatan bata yang baunya sangat menyengat jika belok adalah perumahan. Kami ambil jalan masuk perumahan, di dalam perumahan itu kami berputar-putar seperti masuk jalan yang sebenarnya tidak ada tembusnya sampai menemukan jalan baru yang belum kami lalui. Jalan itu kemudian kami ambil, selang beberapa lama ada persimpangan aku arahkan saja teman-temanku untuk belok kiri. Beberapa meter kami jalan aku memberhentikan sepeda,

“lho kok kaya hutan...”
“mas bener ga jalane?”

Mereka sebenarnya belum aku kasih tahu kalau aku sedang mengajak mereka karena aku tahu tapi untuk mencari tempatnya.

“jalan terus bae, masih ada jalan”

Kami terus berjalan lagi sampai ada sawah di kanan kiri kami, hatiku rasanya sangat lega sekali karena keluar tempat yang seperti hutan tadi dan melihat sawah yang luas. Daerah sawah yang luas seperti ini jarang aku temui di desaku, paling-paling hanya 200 meter persegi apa lagi saat ini sudah mulai terkikis oleh bangunan rumah. Jalanan itu mulai terlihat dengan sinar matahari yang mulai naik, segar rasanya udara yang sejuk seperti ini tak akan pernah bisa terlupa. Perjalanan terus dilakukan, pada saat itu aku terkaget sekaligus takut saat aku membaca tulisa desa Bojong. Saat itu aku berpikir bahwa kami telah memasuki daerah yang sangat jauh apalagi nama Bojong yang asing dan terkesan magis dalam pikiranku. Setelah teman-temanku merasa capek kami berhenti di sebuah tanggul selokan. Kami merasa bahwa matahari sudah tidak bersahabat, panasnya mulai membuat berkeringat badan selain itu kami tidak membawa bekal apa pun. Akhirnya kami pun pulang sebelum menemukan jembatan gantung itu. Karena dirasa sudah jauh dan lelah aku menyuruh Ganang untuk menjadi penunjuk jalan pulang.

“nang maju kamu yang tunjukkan jalan pulang”
“ya mas aku tahu jalan pintasnya, aku kayaknya pernah lewat sini”

Kami percaya saja dengan yang ditunjukkan oleh Ganang, karena dia mengakui bahwa tahu daerah ini. Awalnya jalan yang kami lalui berbeda dengan jalan berangkat. Aku saat itu mulai ragu karena jalan yang diambil bukan jalan aspal. Lama-lama jalan berubah menjadi tanah berlumpur kemudian memasuki sawah sehingga berada di tengah-tengah petak-petak sawah. Sesekali kami menemui kandang sapi. Sampai masuk lagi jalan aspal dan terdapat persimpangan, Ganang mengambil jalan kiri, di sini aku mulai berpikir bahwa kami hanya berputar-putar dari tadi.

“Ganang ini jalan yang tadi, kayaknya bukan ini harusnya belok kanan”
“gak mas, benar ini jalan aku masih inget koh”

Tinggi matahari pada saat itu sekitar 15o yang menandakan bahwa ini sudah jam 7, jika pada saat itu masuk sekolah maka  jam ini adalah sudah terlambat dan pasti akan di strap oleh bu guru di depan kelas. Merasa tertipu dengan ingatan Ganang aku memberhentikan sepeda. Aku memutar balik dengan instingku aku arahkan jalan yang menurutku benar.

“stop... sudah ikuti aku saja”
“benar ini koh mas, jalannya aku masih ingat”
“sudah, ini jelas salah dari tadi cuman muter-muter doang”
“apa iya mas berarti kita tersesat ini..?

Kemudian jalan pulang akhirnya kami temukan dan kami bisa pulang ke rumah pada jam 8 ketika matahari mulai panas. Aku sadar ekspedisi ini gagal, perjalanan yang sudah dilalui tadi sia-sia, waktu yang terbuang dibayar dengan rasa capek, haus dan lapar karena menempuh perjalanan sepeda 4 jam lamanya tanpa bekal. Inilah yang menjadi pelajaran seharusnya sebelum berangkat kami mencari informasi terlebih dahulu di mana itu daerah Pliken. Kemudian yang perlu diperhatikan lagi saat perjalanan kami harusnya bertanya jika memang tidak tahu sehingga bisa ke tempat tujuan yaitu jembatan gantung Pliken dan bertanya ketika pulang sehingga tidak tersesat jalan pulang.

Itulah tadi sediki pengalamanku mengenai mau bertanya nggak sesat di jalan. Tidak harus mengenai alamat, bertanya apapun jika memang tidak tahu jangan sampai malah terlanjur salah. Memang bertanya itu sangatlah penting jika memang belum tahu, makannya bertanyalah, orang yang mau bertanya nggak sesat di jalan. Tapi lebih baiknya lagi jika bertanya pada yang memang ahlinya, ketika mau bertanya tentang ilmu tanya ke guru, alamat tanya tetangga, makanan tanya koki, tanya seputar BNI tanya #AskBNI. Yang baca tolong doakan ya biar ini artikel  menang(hha...)

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

ke atas